Friday, October 28, 2011

Tentang Sebuah Rasa


Untuk sebuah rasa yang belum pernah terungkap, aku ungkapkan hari ini. Setelah sang waktu melaju hingga ke tahun empat belas. Setelah kita memiliki belahan jiwa dan buah hati masing-masing. Tak apa, hanya sekedar untuk kau ketahui. Supaya kau tak perlu ragu lagi untuk memastikan bagaimana rasaku padamu saat itu. Saat aku masih begitu pengecut di hadapanmu. Dan aku selalu merasa sebagai pecundang hingga tak pantas memiliki rasa itu. Kau terlalu sempurna di mataku. Dulu.


Aku merasa berdosa saat diam-diam meninggalkanmu tanpa sebuah kepastian setelah sekian lama kita larut dalam kebersamaan. Aku nyaman bersamamu saat itu, namun aku tahu kau masih ragu padaku. Hanya karena kita berbeda. Ya, kita terlahir dengan banyak perbedaan walaupun kita sama-sama diciptakan oleh-Nya. Aku merasa, hanya sebagai teman, kita akan aman untuk selalu bersama-sama. Tapi tahukah kau, saat kita sudah semakin dekat aku semakin tersiksa dengan rasa yang aku pendam. Ingin rasanya aku ungkapkan saat itu, namun aku dihantui rasa takut akan penolakanmu dan mungkin juga penolakan keluargamu padaku. Kau bagaikan seorang dewi yang tak terjamah olehku. Kali ini aku mengalah dengan pikiranku sendiri.


Lalu, keputusan itu aku ambil demikian cepat. Tanpa kata aku beranjak pergi. Aku tak tahu apakah kau terluka akan sikapku ini. Andai kau tahu, aku pun sangat tersiksa tak dapat bersamamu lagi. Meninggalkanmu adalah perbuatan bodohku yang seringkali kusesali. Bertahun-tahun aku mencoba untuk mengenyahkan rasaku padamu. Tapi maaf, aku tak bisa. Sudah aku coba untuk mencari penggantimu untuk mengisi singgasana tahta hatiku, namun tak pernah ada yang bisa sepertimu. Selalu, hanya kau yang paling indah bagiku.


Lama, hingga belasan tahun aku tak tahu kabar tentangmu. Mungkin kamu telah bahagia bersama laki-laki pujaanmu. Yang lebih segalanya dariku. Jelas, aku bukan apa-apa buatmu. Tak mengapa jika demikian, aku turut bahagia. Toh, aku juga sudah menemukan seseorang yang bisa mengerti tentang aku. Dan aku bahagia, cukup bahagia dengannya. Semoga kau pun juga. Apalagi, buah hatiku sangat lucu. Selalu bisa membuatku bangga sebagai seorang ayah. Ya, aku sudah menjadi seorang ayah sekarang. Pastinya kau juga sudah menjadi seorang ibu bukan ? Anakmu pasti lucu, sama seperti anakku. Ah..


Tempo hari, aku mendengar berita tentangmu. Tanpa sengaja. Lewat seorang temanku yang ternyata temanmu juga. Aku tersentak akan sebuah kebetulan ini. Setelah empat belas tahun. Aku penasaran, ingin tahu bagaimana keadaanmu saat ini. Namun aku malu. Aku ragu. Masihkah kau mengingat diriku dengan baik. Masihkah aku ada dalam memori masa lalumu. Mungkin sudah terlupakan begitu saja. Mungkin namaku sudah masuk dalam daftar temanmu yang tidak penting. Padahal andai kau tahu. Aku begitu memujamu. Mungkin hingga sekarang. Istriku sudah tahu. Aku cerita padanya tentang apa saja. Termasuk tentangmu. Dan dia mau mengerti. Semua orang punya masa lalu katanya. ya..aku lega karena memang cerita kita tidak pernah kelam. Indah, buatku..buatmu aku tak tahu.


Jadi, nomor handphonemu sudah aku dapatkan dari temanku yang juga temanmu itu. Sudah dari kemarin aku dapatkan namun aku ragu-ragu untuk menghubungimu. Aku sudah wanti-wanti dengan temanku supaya jangan memberitahumu kalau aku minta nomor handphonemu. Temanku hanya menatap penuh rasa ingin tahu, namun aku jawab supaya surprise. Lalu dia tersenyum dan tidak bertanya apa-apa lagi. Semoga saja temanku itu bisa dipercaya, sebab kalau tiba-tiba dia memberitahumu tentangku bisa gagal berantakan semua rencanaku.


Sssttt..kali ini aku main rahasia dengan istriku. Biasanya segala sesuatu aku ceritakan padanya. Namun kali ini tidak tentang nomor handphonemu. Aku save namamu dengan nama laki-laki supaya dia tidak curiga. Sebab diam-diam, aku pernah memergokinya membuka-buka handphoneku. Aku tak tahu apakah semua perempuan selalu ingin tahu privacy suaminya, lha wong aku saja tak pernah membuka-buka barang pribadinya. Aku tak mau dan tak mau tahu. Tapi tak apalah, cemburu berarti sayang. Mungkin istriku takut kalau aku selingkuh diam-diam. Belum selingkuh saja sudah curiga, gimana kalau aku selingkuh beneran ? Hush..semoga tidak. Aku ini laki-laki baik-baik kok.


Hm..kurasa sekarang adalah saat yang tepat. Istriku lagi arisan ibu-ibu di rumah tetangga, anakku lagi main di rumah temannya. Tak ada siapa-siapa di rumah ini kecuali aku sendiri. Kulihat jam di dinding menunjukkan pukul lima sore. Kuambil handphoneku kemudian kuhela nafas dalam-dalam untuk mengeluarkan keberanianku. Hati-hati kupencet nomor teleponmu. Apa yang kaulakukan saat ini ? Tut..tut..tut..tanda panggilanku sudah masuk. Dadaku berdegup kencang. Waduh..rasanya seperti masih remaja saja..


“Halo..?”


Terdengar suara di seberang. Aku yakin itu suaramu. Tidak banyak berubah. Aku senang sekaligus gugup.


“Aku cinta kamu..”


Aku tidak sadar apa yang aku ucapkan. Yang ada di pikiranku aku hanya ingin mengucapkan kata itu.


“Halo siapa ini ?”


“Aku cinta kamu..”


Semakin kacau pikiranku. Alam bawah sadarku menyuruhku mengucap kata itu. Berulang-ulang.


“Halo..bapak salah sambung ya..”


“Aku cinta kamu..”


Sekali lagi. Tiba-tiba saja aku sudah tak mampu untuk sekedar berbasa-basi. Padahal aku ingin tahu bagaimana kabarmu.


“Wong edan..ditanya nggak jawab..”


Tut..tut..tut...sambungan telepon terputus. Namun aku lega setengah mati sudah mengungkapkan rasaku. Meskipun kau tidak tahu siapa aku sebenarnya. Masihkah kau hafal dengan suaraku ? Mungkin aku sudah gila karenamu. Aku bahagia meski hanya bisa mendengar suaramu saja. Ternyata, aku masih menjadi pengecut hingga saat ini.


****


“Mas, Yoyok itu siapa ? Teman barumu po ? Kok aku belum tahu ?”


Waduh, istriku tanya tentang siapa Yoyok, namamu yang kusimpan dalam handphoneku. Aku terkesiap, handuk yang melilit tubuhku hampir saja terlepas. Aku baru selesai mandi.


“Tadi, waktu mas mandi, ada panggilan masuk namanya Yoyok, mau tak angkat kebetulan pas handphoneku juga bunyi, mbak Nita telpon mau pesen kue.”


“Oh..iyo, temen baru. Ya sudah, paling nanti juga telpon lagi kalau penting.”


Cepat-cepat kujangkau handphoneku dan benar, ada namamu di daftar miss call. Ada apa ya ? Aku jadi penasaran. Apa kau sudah tahu tentang aku ?


“Nanti, kalau aku lagi ke kamar mandi trus ada telpon dari Yoyok lagi, nggak usah diangkat ya..urusan laki-laki..”


Kataku pada istriku sambil mataku mengedip nakal.


“Walah kemaki..biasanya juga tak angkat ndak papa..jangan-jangan Yoyok ki pacarmu, opo sampeyan homo to mas ? Hiii...”


“Hush..sembarangan..”


Pikiranku penuh dengan tanda tanya. Berharap kau telpon lagi tapi please..mbok disaat istriku pas nggak ada. Pas aku di kantor atau di luar rumah saja sepertinya lebih aman. Aku nggak mau terperangkap dalam kebohongan yang berkesinambungan. Aku takut dosaku berlarut-larut. Duh, Gusti..mbok yao masa laluku ini jangan menggangguku lagi. Tapi yo salahku juga kenapa kemarin telepon trus ngomong yang nggak-nggak. Tak pikir kau sudah tidak nggagas lagi, lha kok malah telepon balik. Wah, jan..


Pagi ini aku berangkat ke kantor dengan tergesa-gesa. Kurang 1 menit lagi aku telat ikut meeting. Semua gara-gara aku susah tidur tadi malam. Apalagi kalau bukan mikirin kau. Harap-harap cemas kalau kau telpon lagi. Handphone sampai tak simpan di bawah bantal. Sengaja tak silent supaya istriku nggak dengar kalau ada panggilan. Cukup dengan merasakan getarannya saja. Tapi yang kutunggu-tunggu tak kunjung menelepon. Yo wis, lega sementara. Sebenarnya aku pengin nelpon kau lagi, tapi aku masih takut ngomong yang nggak-nggak kayak kemarin. Trus, ndelalah pulsaku sudah di ambang batas. Istriku bisa curiga kalau pulsaku tiba-tiba mendadak boros. Wong biasane aku ki paling awet pakai pulsa. Kalau nggak penting banget ya nggak telpon. Ngirit.


Tapi ngomong-ngomong, kok ada yang aneh ya. Saku celanaku kosong melompong yang biasanya full dengan benda berbentuk persegi panjang itu. Wah..sepertinya penyakit pikunku kambuh. Handphoneku ketinggalan. Sudah beberapa kali ketinggalan sebenarnya dan biasanya aku tidak terlalu khawatir karena handphone itu pasti ada di kamarku. Tapi sekarang lain ceritanya, saat “Yoyok” hadir kembali dalam hidupku. Pikiranku sudah mengembara kemana-mana. Jangan-jangan kau telpon, trus yang ngangkat istriku, trus semuanya menguak begitu saja dan aku menjadi terdakwa disidang istriku karena ketidakjujuranku dari awal. Duh !


Hari ini di kantor kujalani dengan kacau. Mulai dari nggak konsen saat meeting hingga aku ditegur si bos, pekerjaan banyak salahnya, nggak kelar-kelar dan segala sesuatunya seolah tak bersahabat denganku. Pusing. Semua hanya karena kau yang memenuhi pikiranku. Aku heran, belasan tahun tak mampu membunuh rasaku padamu. Penasaranku begitu amat sangat menggoda. Keinginanku untuk bisa bertemu denganmu walau sesaat, begitu kuat. Apalagi dari info Dayat, temanku yang juga temanmu itu kau tinggal di daerah yang tidak terlalu jauh dari tempatku. Sebuah kebetulan yang jauh dari dugaanku sebelumnya. Kupikir kau sudah tinggal jauh di belahan dunia yang lain.


Aku berandai-andai kalau sekarang aku ketemu kau, apa yang akan kulakukan ya ? Salah tingkah seperti laki-laki umur puber atau biasa saja atau acuh tak acuh ? Embuhlah..aku bingung je..Hatiku kebat-kebit and cenat cenut nggak karuan. Itu baru mbayangke thok, gimana kalau ketemu betulan ? Duh biyung..Jeng Sri. kau selalu membuatku pusing tujuh keliling.


***

“Mas, Yoyok ki laki opo perempuan to ? Kok suarane lembut..tak kiro istrinya Yoyok je..tapi pas tak tanya apanya Yoyok dia nggak ngomong apa-apa malah bingung ki ?”


Ladalah, opo meneh iki. Baru datang dari kantor istriku sudah cerita macem-macem. Penasaranku makin membuncah.


“Yoyok telpon meneh ?”


“Ho oh..trus ngomong halo siapa ini ? Yo aku jawab, lha ini siapa, istrinya mas Yoyok po ? Trus dia ngomong Yoyok siapa ya..maaf salah sambung..Kok aneh yo. Jan-jane Yoyok ki sopo to mas ? Bingung aku..”


“Walah..supaya nggak bingung sesok meneh nek telpon rasah diangkat. Marai mumet..”


“Lha sampeyan ki mesti ketinggalan handphone, kebiasaan..”


Aku manggut-manggut. Sedikit lega istriku tidak curiga berkelanjutan. Namun aku semakin penasaran kenapa kau nelpon lagi.


Lalu aku mulai ubah kebiasaan. Handphone kutenteng kemana-mana takut kalau tiba-tiba kau telpon. Sengaja handphone kugantung di leher pakai tali. Istriku geleng-geleng liat kebiasaan baruku ini. Ke kamar mandipun, handphone setia menemaniku. Kuletakkan hati-hati di tempat yang kering dari air saat aku mandi.


Nah, saat aku lagi seru-serunya pakai sabun mandi, handphoneku berdering. Lekas kulihat siapa gerangan yang menelpon saat keadaanku basah kuyup begini. Yoyok. Mataku terbelalak. Lekas kucuci tanganku kemudian kulap dengan handuk secepat kilat. Berharap kau mau sabar menanti. Tak peduli badanku masih penuh dengan busa sabun tanpa sehelai benangpun.


“Halo..”


Suara lembutmu, jeng..aku benar-benar terbuai. Terpana. Terpaku.


“Ya, halo..”


“Maaf, saya hanya tanya siapa ini. Apakah salah sambung atau bukan. Apa Anda mengenal saya ? Tempo hari Anda yang menelpon saya kan ?”


“Jeng Sri..”


Tak urung aku memanggil namamu seperti dulu aku memanggilmu.


“Anda mengenal saya ?”


“Ya Jeng..empat belas tahun yang lalu aku mengenalmu. Aku Pras..”


“Mas Pras ? Prastowo ? Benarkah itu kamu Mas ? Ya Tuhan...”


Kuhela nafas panjang. Kau masih mengenalku dengan baik. Aku menangkap ada nada gembira dalam ucapanmu. Benarkah itu jeng ?


“Apa kabar Jeng ? Berapa anakmu sekarang ?”


“Baik, Mas..anakku dua, laki sama perempuan. Mas Pras sendiri berapa anaknya ?”


“Satu jeng. Laki-laki..suamimu ?”


“Satu, mas..eh maksudku..suamiku kenapa mas ? Mas belum mengenalnya..”


“O, ya..maafkan ucapanku tempo hari. Jujur, aku gugup.”


“Ndak apa-apa, mas..aku juga minta maaf nyebut wong edan..aku hanya kaget saja..kok tiba-tiba mas bisa tahu no telponku. Surprise..”


“Sebenarnya itu yang ingin aku ucapkan dari dulu. Tapi aku selalu menjadi pecundang sejati. Mungkin sekarang sudah tak ada artinya lagi.”


Kau diam. Tak ada suara apapun. Hanya aku bisa mendengar helaan nafasmu yang lembut dan dalam.


“Sebenarnya..kata itu yang kutunggu belasan tahun yang lalu, mas..namun mas terlanjur pergi tanpa kata. Tapi sudahlah..tak ada yang perlu disesali. Toh, sekarang kita sudah tahu dan tak mungkin untuk bisa saling memiliki. Aku bahagia dengan kehidupanku yang sekarang mas, dan semoga mas Pras juga bahagia. Terima kasih mas. Kejujuranmu sudah lebih dari cukup.”


Tut..tut..tut..sambungan telpon ditutup. Kau menyudahi pembicaraan kita. Aku masih belum percaya apa yang baru saja terjadi. Seperti mimpi. Kucubit lenganku dan aku malu ternyata aku masih berurusan dengan busa sabun. Handphone akan kuletakkan tapi tanganku terasa licin seperti belut dan handphone itu meluncur ke bak mandi. Waduh..handphone langsung mati total. Perasaanku campur-campur antara gembira dan sedih. Ah..ini bagian dari suatu dinamika hidup. Yang pasti aku lega. ya..sangat lega. Aku sudah bisa mengungkapkan rasaku tanpa khawatir akan ada perselingkuhan. Ya, aku janji. Jeng Sri, kau adalah bagian dari masa lalu yang belum usai namun aku sudah menyudahinya barusan. Masa depanku adalah istri dan anakku. Itu saja. Kulanjutkan mandiku yang tertunda. Kali ini dengan senandung. Aku lupa handphoneku butuh pertolongan segera. Ah..biar kunikmati dulu segarnya air mengguyur tubuhku hari ini.



No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...