Friday, February 26, 2010

Ketika Pernikahan hanya sekedar “Legalisasi Prostitusi”


Istilah “Legalisasi Prostitusi” ini saya adopsi dari celetukan kakak saya yang berprofesi sebagai seniman saat berbincang-bincang ringan dengan teman-temannya. Lama kata-kata ini mengendap di alam bawah sadar saya, sehingga menggelitik saya untuk mencoba mencerna maknanya. Apa iya, waktu itu saya hanya menganggap angin lalu dan ucapan gila semata. Tapi kemudian saya berpikir, mungkin inikah jawaban akan maraknya nikah siri, kawin kontrak dan poligami ? Entahlah..

Ketika suatu pernikahan terjadi untuk suatu tujuan tertentu tanpa dilandasi rasa cinta, ini menjadi tanda tanya besar. Fenomena apa yang sedang terjadi ? Apakah hanya sekedar tameng untuk menghindari cemoohan masyarakat karena tingkatannya sedikit lebih terhormat dari sekedar ‘kumpul kebo’ saja ? Atau hanya sekedar penyaluran nafsu syahwat untuk jangka waktu tertentu, tanpa ada keinginan untuk memperpanjangnya hingga akhir hayat ?

Waktu saya tinggal di daerah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat, saya sering mendengar ada kawin kontrak yang terjadi antara gadis desa dengan orang Barat / luar negeri yang sedang bekerja di Indonesia. Mereka menetapkan jangka waktu pernikahan itu dan ada semacam perjanjian jika suatu saat suami telah habis kontrak masa kerjanya di Indonesia dan harus kembali ke negara asalnya, maka otomatis status pernikahan mereka pun berakhir.

Keuntungan bagi si istri yang orang lokal adalah tercukupinya kebutuhan materi selama kawin kontrak, bahkan tak jarang dari mereka yang menjadi kaya mendadak. Sedangkan bagi suami orang luar, mereka tidak perlu ‘jajan’ untuk memenuhi hasrat seksualnya karena sudah ada istri sementara yang melayani. Tak jarang, mereka sudah punya istri di negara asalnya. Dan ini terjadi hampir di kota-kota kawasan industri, di kebanyakan kota besar. Hm...apa mau dikata kalau sudah begini. Yang bersangkutan tidak menjadikan ini sebagai beban kok.

Tapi, sebagai manusia tentunya menyadari banyaknya pemikiran yang beragam. Setiap tindakan yang kita lakukan, baik ataupun buruk, semuanya mengandung resiko atau hukum sebab-akibat. Jangan heran jika kemudian muncul banyak pendapat pro dan kontra. Itu wajar saja. Namanya hidup sebagai makhluk sosial, tentunya banyak visi dan misi. Dan tidak mungkin jika kita menyatukan semua pendapat yang berbeda-beda menjadi satu pendapat yang sama. Betul, tidak ?

Contohnya saja saat kita rapat untuk membahas suatu permasalahan, pasti akan banyak muncul ide-ide dan pendapat yang berbeda-beda. Sebagai pemimpin rapat, sudah sewajibnya mencoba mengambil jalan tengah untuk mencapai kesepakatan bersama atau yang disebut kata mufakat. Tentunya dibutuhkan hati yang besar untuk bisa menerima pendapat orang lain. Banyak lho, di depan forum kelihatannya mengangguk-angguk setuju terhadap hasil yang dicapai, di luaran bicara yang macam-macam. Sampai memprovokasi untuk memboikot segala. Waduh..

Sebenarnya pernikahan itu apa sih ? Tentunya kita mempunyai pendapat sendiri berdasarkan keyakinan dan agama yang kita anut masing-masing. Yang pasti, tujuan pernikahan itu baik, untuk menyatukan dua pribadi yang berbeda, meneruskan keturunan, menjadikan teladan dan pastinya saling mendukung untuk hal yang baik-baik. Istri harus tunduk kepada suami, dan suami harus menghargai istri. Masing-masing mempunyai peran yang sama pentingnya. Dan harusnya setiap suami istri harus mengingat dan menjalankan janji apa yang telah diucapkan didepan pemimpin agama dan saksi dahulu.

Menurut saya, pernikahan itu sakral dan agung, jelas bukan untuk main-main karena sudah berani bersumpah atas nama Tuhan. Harus memikul tanggung jawab, apalagi jika sudah mempunyai anak. Sebagai orang tua, sudah sewajarnya bertanggung jawab untuk masa depan anaknya. Itu konsekuensi yang dipilih.

Karena itu, sebelum menikah hendaknya benar-benar dipikirkan bagaimana calon pendamping yang terbaik bagi kita. Tidak ada manusia yang sempurna, tapi bagaimana kita bisa berpikir untuk menerima segala kelebihan dan kekurangan pasangan kita. Dan yang paling penting, kita harus bisa menyamakan visi dan misi dengan pasangan dalam membangun rumah tangga. Memang tidak gampang pada prakteknya, tapi kita harus membangun pondasi yang kokoh jika tidak ingin hubungan yang kita bina ambruk di kemudian hari.

Jadi, hendaknya pernikahan jangan hanya sekedar ‘legalisasi prostitusi’ saja..karena pernikahan tidak melulu untuk urusan seks saja. Banyak hal yang tak kalah penting yaitu tentang bagaimana kita belajar membangun relationship dengan pasangan, bagaimana menata emosi, bagaimana menyikapi keterkejutan akan perubahan karakter pasangan setelah menikah, bagaimana menjalin relasi yang baik dengan keluarga besar pasangan, bagaimana dan bagaimana yang lainnya yang tidak akan habis untuk dibahas.
Menikah itu jangkauannya luas. Kita tidak hanya menikah dengan pasangan saja, tapi juga dengan keluarga besarnya. Itu yang perlu kita renungkan. Kalau kita merasa yang paling benar, dan semua orang merasa paling benar, tentunya tidak akan ada titik temu. Jadi biarkan pikiran kita terbuka dan biarkan memilah mana yang baik dan yang buruk. Satu hal yang penting, biasakan untuk berpikiran positif seburuk apapun keadaannya ( walah, sok jadi Mario Teguh nih..hehe..)

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...